Butuh Pemahaman Ekstra dan Totalitas membaca!
Sebuah eksperimen yang sedang dibangun di luar Chicago akan
berupaya mengukur hubungan intim antara informasi, materi, dan
ruangwaktu. Jika berhasil, ini bisa menulis ulang kaidah-kaidah fisika
abad 21.
Craig Hogan percaya dunia ini seperti bulu. Ini bukan kiasan. Hogan,
fisikawan di Universitas Chicago dan direktur Fermilab Particle
Astrophysics Center dekat Batavia, Illinois, menduga andai kita
mengintip subdivisi ruang dan waktu terkecil, kita akan mendapati alam
semesta dipenuhi kerlipan intrinsik, dengungan statis yang sibuk.
Dengungan ini bukan berasal dari partikel-partikel yang melambung muncul
dan lenyap atau jenis-jenis omong-kosong quantum lain yang
diperdebatkan fisikawan di masa lalu. Derau Hogan timbul jika ruang
tidak halus dan tidak malar (smooth and continuous), bukan
seperti asumsi lama kita; menjadi latar untuk tarian medan-medan dan
partikel-partikel. Derau Hogan timbul jika ruang terbuat dari
bongkah-bongkah. Blok-blok. Bit-bit. Derau Hogan mengimplikasikan alam
semesta ini digital.
Suatu sore di awal musim gugur, berangin sepoi, Hogan mengajak saya
melihat mesin yang dibangunnya untuk menemukan derau ini. Bangsal biru
cerah menjulang dari padang rumput kecokelatan kampus Fermilab,
satu-satunya tanda konstruksi baru di fasilitas berumur 45 tahun ini.
Sebuah pipa selebar kepalan tangan membentang 40 meter dari bangsal
menuju bunker panjang tegak lurus, bekas rumah sorot yang selama
berdekade-dekade menembakkan partikel-partikel subatom ke Minnesota di
utara. Bunker ini dijadikan, kata Hogan, sebagai Holometer, perangkat
yang dirancang untuk memperkuat kerlipan di struktur ruang.
Dia mengeluarkan sepotong tebal kapur trotoar dan mulai menulis pada
samping bangsal biru langit tersebut, kuliah dadakan yang memperinci
bagaimana beberapa laser yang melambung lewat pipa-pipa dapat memperkuat
struktur halus ruang. Dia mengawali dengan menjelaskan bagaimana dua
teori tersukses di abad 20—mekanika quantum dan relativitas umum—tak
mungkin bisa direkonsiliasikan. Pada skala terkecil, keduanya runtuh
menjadi bualan. Tapi, untuk alasan lain, skala ini juga rupanya
istimewa: ia kebetulan terhubung intim dengan sains informasi—0 dan
1-nya alam semesta. Selama beberapa dekade terakhir, fisikawan telah
membongkar pemahaman mendalam tentang bagaimana alam semesta menyimpan
informasi—bahkan mereka menyatakan bahwa informasi, bukan materi dan
energi, merupakan satuan eksistensi paling dasar. Informasi menunggang
bit-bit kecil; dari bit-bit inilah kosmos berasal.
Jika kita mengambil serius garis pemikiran ini, kata Hogan,
semestinya kita mampu mengukur derau digital ruang. Maka dari itu, dia
telah merancang sebuah eksperimen untuk mengeksplorasi dengungan pada
skala paling fundamental di alam semesta. Dia akan menjadi orang pertama
yang memberitahu Anda bahwa ini mungkin tidak bekerja—bahwa dia mungkin
tidak melihat apa-apa sama sekali. Upayanya merupakan eksperimen dalam
pengertian paling sejati—sebuah percobaan, sebuah penyelidikan hal-hal
tak dikenal. “Anda tak bisa memakai fisika ruangwaktu yang sudah teruji
dan fisika mekanika quantum yang sudah teruji lalu mengkalkulasi apa
yang akan kita lihat,” ujar Hogan. “Tapi bagi saya, itulah alasan
melakukan eksperimen ini—untuk masuk dan melihat.”
Lantas jika dia betul-betul melihat kerlipan ini? Maka ruang dan
waktu tidak seperti yang kita pikirkan. “Ini mengubah arsitektur
fisika,” kata Hogan.
SingkatnyaRuang mungkin tidak lembut dan malar. Justru kemungkinan ia digital, terdiri dari bit-bit kecil. Fisikawan berasumi bit-bit ini terlampau kecil untuk diukur dengan teknologi sekarang.Tapi salah seorang ilmuwan merasa menemukan cara untuk mendeteksi struktur ruang mirip bit. Mesinnya—kini sedang dikonstruksi—akan berupaya mengukur sifatnya yang seperti butir.Eksperimen ini salah satu yang pertama menyelidiki prinsip bahwa alam semesta timbul dari informasi—rincinya, informasi yang tercetak pada lembar dua-dimensi.Jika sukses, eksperimen ini akan menggeser fondasi segala yang kita ketahui tentang ruang dan waktu, menyediakan pandangan fisika baru yang dapat menggantikan pemahaman kita saat ini.
Selama bertahun-tahun, fisika partikel tidak membedah model
eksplorasi jenis ini. Para ilmuwan menghabiskan akhir 1960-an dan awal
1970-an dengan mengembangkan jejaring teori dan pemahaman yang kini kita
kenal sebagai Standard Model fisika partikel. Selama berdekade-dekade,
sejak saat itu, eksperimen-eksperimen mengujinya dengan kedalaman dan
presisi yang kian meningkat. “Polanya adalah, komunitas teori sudah
menelurkan sebuah ide—contoh, boson Higgs—dan kita memperoleh model. Dan
model membuat prediksi, lalu eksperimen menyingkirkannya atau tidak,”
kata Hogan. Teori duluan, eksperimen menyusul.
Konservatisme ini eksis untuk alasan yang sangat bagus: eksperimen
fisika partikel bisa amat mahal. Large Hadron Collider (LHC) di CERN
dekat Jenewa membutuhkan sekitar $5 miliar untuk dirakit dan sekarang
menyita perhatian ribuan fisikawan di seluruh dunia. Ia adalah kompleks
paling canggih dan mesin paling presisi yang pernah dibangun. Ilmuwan
terang-terangan bertanya apakah particle collider generasi
berikutnya—dengan energi lebih tinggi, ukuran lebih besar, dan biaya
lebih mahal—terlalu ambisius. Manusia pantas menolak membiayainya.
Eksperimen tipikal di LHC melibatkan lebih dari 3.000 periset. Di
Fermilab, Hogan telah membangun tim longgar yang terdiri dari kira-kira
20 orang, sudah termasuk para penasehat senior di Massachusetts
Institute of Technology dan Universitas Michigan yang tidak
berpartisipasi dalam pekerjaan harian di lokasi. Hogan utamanya adalah
fisikawan teoritis—tidak terlalu familiar dengan tingkah aneh pompa
vakum dan laser status-padat (solid-state laser)—jadi dia
menunjuk Aaron Chou, eksperimentalis yang kebetulan tiba di Fermilab
hampir bersamaan dengan pengajuan proposal Hogan, sebagai wakil
pimpinan. Musim panas lalu, mereka dihadiahi $2 juta, yang kalau di LHC
hanya cukup untuk membeli magnet superkonduktif dan secangkir kopi. Uang
ini akan mendanai seluruh proyek. “Kami tidak akan mengerjakan urusan high-tech jika low-tech mencukupi,” ujar Hogan.
Eksperimen ini begitu murah sebab pada dasarnya merupakan pembaruan
eksperimen yang terkenal meruntuhkan kearifan kokoh abad 19 tentang
latar belakang eksistensi. Menjelang awal 1800-an, fisikawan tahu bahwa
cahaya berperilaku sebagai gelombang. Dan ilmuwan mengenal gelombang.
Dari riakan di kolam sampai bunyi di udara, semua gelombang berbagi
beberapa fitur esensial. Seperti seni ukir, gelombang selalu memerlukan
medium—suatu substrat fisik yang harus ditempuh gelombang. Karena cahaya
adalah gelombang, lanjut pemikiran ini, ia juga pasti memerlukan
medium, zat gaib yang merembesi alam semesta. Ilmuwan menyebut medium
tersembunyi ini sebagai eter.
Pada 1887, Albert Michelson dan Edward Morley merancang eksperimen
yang akan mencari eter ini. Mereka membuat sebuah
interferometer—perangkat berbentuk L dengan dua lengan, dioptimisasi
untuk mengukur perubahan. Satu sumber cahaya menempuh panjang kedua
lengan, memantul dari cermin-cermin di ujung, lalu bergabung kembali di
titik awal. Jika lama waktu yang diperlukan cahaya untuk menyusuri tiap
lengan berubah sepecahan mikrodetik saja, maka cahaya rekombinasi akan
lebih gelap. Michelson dan Morley membangun interferometer mereka dan
memonitor cahaya tersebut selama berbulan-bulan sementara bumi
mengelilingi matahari. Tergantung pada arah mana yang ditempuh bumi,
eter stasioner semestinya mengubah waktu yang diperlukan cahaya untuk
melambungi lengan-lengan tegak lurus. Ukur perubahan ini, maka Anda
temukan eter.
Tentu saja, eksperimen ini tidak menemukan hal demikian, hingga
mengawali keruntuhan kosmologi berumur ratusan tahun. Tapi seperti hutan
yang dilalap api, menyingkirkan eter memungkinkan tumbuhnya ide-ide
baru dan revolusioner. Tanpa eter, cahaya berjalan dengan kecepatan yang
sama, tak peduli bagaimana Anda bergerak. Berdekade-dekade kemudian,
Albert Einstein menangkap pengertian ini untuk mendapatkan teori-teori
relativitasnya.
Interferometer milik Hogan akan mencari latar belakang yang sangat
mirip eter—substrat gaib (dan mungkin imajiner) yang merembesi alam
semesta. Dengan memakai dua interferometer Michelson yang ditumpuk, dia
bermaksud menyelidiki skala-skala terkecil di alam semesta, jarak di
mana mekanika quantum dan relativitas runtuh—kawasan di mana informasi
hidup sebagai bit-bit.
Skala Planck tak hanya kecil—ia paling kecil. Jika Anda mengurung
sebuah partikel di dalam kubus yang panjang tiap sisinya kurang dari
satu panjang Planck, relativitas umum menyebut beratnya lebih dari black hole berukuran sama. Tapi hukum mekanika quantum menyatakan black hole
yang lebih kecil dari panjang Planck harus memiliki kurang dari satu
quantum energi, yang mana mustahil. Pada panjang Planck terdapat
paradoks.
Tapi panjang Planck lebih dari sekadar ruang di mana mekanika quantum
dan relativitas ambruk. Pada beberapa dekade lalu, sebuah argumen
mengenai sifat black hole telah menyingkap pemahaman yang sama
sekali baru tentang skala Planck. Teori-teori terbaik kita mungkin
runtuh di sana, tapi di tempat mereka, muncullah sesuatu yang lain.
Esensi alam semesta adalah informasi, demikian bunyi garis pemikiran
ini, dan bit-bit fundamental informasi yang melahirkan alam semesta
hidup pada skala Planck.
“Informasi berarti pembedaan benda-benda,” jelas fisikawan
Universitas Stanford, Leonard Susskind, dalam sebuah kuliah di
Universitas New York musim panas lalu. “Ada sebuah prinsip fisika amat
dasar bahwa pembedaan tak pernah hilang. Mereka mungkin berdesakan atau
bercampur aduk, tapi mereka tak pernah lenyap.” Bahkan setelah majalah
[Scientific American] ini dilarutkan menjadi bubur kertas di pabrik daur
ulang, informasi di halaman-halaman ini akan tersusun kembali, bukan
terhapus. Secara teori, pembusukan dapat dibalik—bubur kertas
direkonstruksi menjadi tulisan dan foto—sekalipun, secara praktek, tugas
ini terasa mustahil.
Fisikawan sudah lama menyepakati prinsip ini kecuali dalam satu kasus
khusus. Bagaimana seandainya majalah ini dilempar ke dalam black hole? Bagaimanapun tak ada yang pernah muncul dari black hole. Lempar halaman-halaman ini ke dalam black hole, maka black hole
tersebut terlihat nyaris sama persis seperti sebelumnya—barangkali
beberapa gram lebih berat. Bahkan setelah Stephen Hawking menunjukkan
pada 1975 bahwa black hole dapat meradiasikan materi dan energi
(dalam bentuk yang kini kita sebut radiasi Hawking), radiasi ini tak
berstruktur, [cuma suara] embékan datar di kosmos. Dia menyimpulkan black hole pasti menghancurkan informasi.
Omong-kosong, sanggah sejumlah kolega Hawking, di antaranya Susskind
dan Gerard ‘t Hooft, fisikawan di Universitas Utrecht, Belanda, yang
kemudian memenangkan Hadiah Nobel. “Struktur segala yang kita kenal akan
hancur jika Anda membuka pintu sesedikit apapun untuk gagasan hilangnya
informasi,” jelas Susskind.
Namun Hawking tak mudah diyakinkan. Jadi selama dua dekade berikutnya
fisikawan mengembangkan sebuah teori baru yang dapat menerangkan
selisih tersebut. Inilah prinsip holografi, berpandangan bahwa ketika
sebuah objek jatuh ke dalam black hole, materi di dalamnya
mungkin hilang, tapi informasi objek entah bagaimana tercetak pada
permukaan sekeliling black hole. Dengan alat yang tepat, secara teoritis
Anda dapat merekonstruksi majalah ini dari black hole selayaknya dari bubur kertas di pabrik daur ulang. Horizon peristiwa black hole—titik tanpa kembali—bertugas ganda sebagai bukubesar. Informasi tidak hilang.
Prinsip ini lebih dari sekadar trik akuntansi. Ia mengimplikasikan
bahwa sementara dunia sekeliling kita tampak menempati tiga dimensi,
semua informasi tentangnya tersimpan pada permukaan yang memiliki dua
dimensi saja [lihat “Informasi di Alam Semesta Holografis”, tulisan
Jacob D. Bekenstein, Scientific American, Agustus 2003]. Lebih jauh, ada
batasan untuk jumlah informasi yang dapat disimpan pada area permukaan
tertentu. Jika Anda membagi permukaan seperti papan permainan dam, di
mana tiap persegi memiliki sisi dua panjang Planck, kandungan informasi
akan selalu kurang dari jumlah persegi.
Dalam serangkaian makalah di tahun 1999 dan 2000, Raphael Bousso,
kini di Universitas California, Berkeley, menunjukkan cara memperluas
prinsip holografi ini di luar permukaan-permukaan sederhana sekitar black hole. Dia membayangkan sebuah objek dikelilingi bohlam-bohlam potret (flashbulb)
yang padam dalam gelap. Cahaya yang berjalan ke dalam menetapkan satu
permukaan—gelembung yang kempis dengan kecepatan cahaya. Pada permukaan
dua-dimensi inilah—yang disebut tilam cahaya—semua informasi tentang
Anda (atau virus flu atau supernova) tersimpan [lihat boks di bawah].
Tilam cahaya ini, menurut prinsip holografi, melakukan banyak
pekerjaan. Ia berisi informasi posisi setiap partikel di dalam tilam,
setiap elektron, quark, dan neutrino, dan setiap gaya yang beraksi
terhadap mereka. Tapi keliru jika Anda membayangkan tilam cahaya sebagai
sepotong film, secara pasif merekam kejadian nyata yang berlangsung di
dunia. Justru tilam cahaya duluan. Ia memproyeksikan informasi yang
terkandung di permukaannya ke dunia, menciptakan segala yang kita lihat.
Dalam beberapa interpretasi, tilam cahaya bukan hanya menghasilkan
semua gaya dan partikel—ia melahirkan struktur ruangwaktu itu sendiri.
“Saya yakin ruangwaktulah yang muncul,” kata Hermant Verlinde, fisikawan
di Universitas Princeton dan bekas mahasiswa ‘t Hooft. “Ia akan keluar
dari segerombol 0 dan 1.”
Satu masalah: walaupun fisikawan hampir sepakat bahwa prinsip
holografi itu benar—bahwa informasi pada permukaan sekitar mengandung
semua informasi tentang dunia—mereka tidak tahu bagaimana informasi
tersebut dienkode, atau bagaimana alam memproses 1 dan 0, atau bagaimana
hasil pemrosesan tersebut melahirkan dunia. Mereka curiga alam semesta
bekerja seperti komputer—informasi menghasilkan apa yang kita
persepsikan sebagai realitas fisik—tapi kali ini komputernya adalah
kotak hitam besar.
Puncaknya, alasan mengapa fisikawan begitu bergairah dengan prinsip
holografi, alasan mengapa mereka menghabiskan berdekade-dekade untuk
mengembangkannya—tentu saja selain untuk meyakinkan Hawking bahwa
dirinya keliru—adalah karena prinsip ini mengartikulasikan hubungan
mendalam antara informasi, materi, dan gravitasi. Pada akhirnya, prinsip
holografi dapat mengungkap cara merekonsiliasikan dua pilar fisika abad
20 yang sangat sukses tapi tidak rukun: mekanika quantum dan
relativitas umum. “Prinsip holografi adalah papan penunjuk jalan menuju
gravitasi quantum,” kata Bousso, sebuah tinjauan yang mengarah pada
teori yang akan menggantikan pemahaman terkini kita akan dunia. “Mungkin
kita butuh lebih banyak papan penunjuk jalan.”
Ke dalam kekacauan inilah Hogan masuk, tanpa theory of everything
yang hebat, bersenjatakan Holometer sederhana. Tapi Hogan tidak butuh
teori hebat. Dia tak harus memecahkan semua persoalan sulit ini. Dia
hanya perlu memahami satu fakta fundamental: apakah alam semesta adalah
dunia mirip bit, atau bukan? Jika dia bisa melakukannya, dia akan
menghasilkan satu papan penunjuk jalan—anak panah raksasa yang menunjuk
ke arah alam semesta digital, dan fisikawan akan tahu arah mana yang
harus ditempuh.
Menurut Hogan, di dunia mirip bit, ruang sendiri [bersifat]
quantum—ia muncul dari bit-bit diskret terquantisasi pada skala Planck.
Dan jika ia quantum, ia pasti mengidap ketidakpastian mekanika quantum
yang inheren. Ia tidak duduk diam, latar halus untuk kosmos. Sebaliknya,
fluktuasi-fluktuasi quantum menjadikan ruang meremang dan bervibrasi,
menggeser dunia bersamanya. “Alih-alih alam semesta ala eter klasik,
transparan, bertipe kristal,” kata Nicholas B. Suntzeff, astronom di
Texas A&M University, “pada skala amat sangat kecil, terdapat
fluktuasi-fluktuasi kecil mirip buih. Ini mengubah tekstur alam semesta
secara luar biasa.”
Triknya adalah turun ke level buih ruangwaktu ini dan mengukurnya.
Dan di sini kita menjumpai persoalan panjang Planck. Holometer Hogan
merupakan usaha untuk melancarkan serbuan besar-besaran terhadap panjang
Planck—satuan yang demikian kecil, sampai-sampai untuk mengukurnya
dengan eksperimen konvensional (semisal akselerator partikel) perlu
membangun mesin seukuran Bima Sakti.
Dahulu, ketika Michelson dan Morley menyelidiki eter (khayali),
interferometer mereka mengukur perubahan kecil—perubahan pada kecepatan
cahaya sementara bumi mengelilingi matahari—dengan membandingkan dua
sorot cahaya yang berjalan lumayan jauh. Praktisnya, jarak tersebut
melipatgandakan sinyal. Demikian pula dengan Holometer Hogan.
Strateginya untuk turun ke [level] panjang Planck adalah dengan mengukur
akumulasi error yang bertambah ketika berurusan dengan sistem quantum
berkerlip-kerlip.
“Jika saya memandang TV atau monitor komputer, segalanya tampak indah
dan halus,” kata Chou. “Tapi jika Anda memandangnya dari dekat, Anda
bisa melihat piksel-piksel.” Begitu pula dengan ruangwaktu. Pada level
yang nyaman bagi kita manusia—skala orang, bangunan, dan mikroskop—ruang
tampak halus dan malar. Kita tak pernah melihat mobil melaju di jalan
raya dengan melompat seketika dari satu tempat ke tempat sebelahnya
seolah disinari dengan lampu strob Tuhan.
Tapi di dunia holografis Hogan, persis inilah yang terjadi. Ruang
sendiri [bersifat] diskret—atau, menurut istilah di zaman kita,
“terquantisasi” [lihat “Atom Ruang dan Waktu”, tulisan Lee Smolin,
Scientific American, Januari 2004]. Ia timbul dari suatu sistem yang
lebih dalam, suatu sistem quantum secara fundamental, yang belum kita
pahami. “Rasanya saya seperti menipu, sebab saya tidak punya teori,”
kata Hogan. “Tapi ini baru langkah pertama. Saya bisa katakan kepada
para teoris gravitasi, ‘Hei, kalian, pikirkan cara kerjanya.’”
Holometer Hogan dibentuk sangat mirip dengan buatan Michelson dan
Morley, sekiranya Michelson dan Morley punya akses ke mikroelektronika
dan laser dua watt. Laser mengenai sebuah pembelah sorot yang memisahkan
cahaya menjadi dua. Sorot-sorot ini menempuh dua lengan interferometer
berbentuk L sepanjang 40 meter, memantul dari cermin di tiap ujung, lalu
kembali ke pembelah sorot dan bergabung kembali. Tapi bukannya mengukur
gerak bumi menerobos eter, Hogan justru mengukur perubahan panjang
jalur sebagai akibat dari terdorong-dorongnya pembelah sorot di struktur
ruang. Jika pada skala Planck, ruangwaktu menggelepar-gelepar seperti
laut bergolak, maka pembelah sorot adalah sampan yang terhempas-hempas
menerobos buih. Selama waktu yang dihabiskan sinar laser untuk melintas
keluar dan kembali lewat Holometer, pembelah sorot akan telah bergoncang
[sejauh] panjang Planck untuk terdeteksi [lihat boks di bawah].
CARA KERJAMikroskop Panjang PlanckDengan Holometernya, Hogan akan mencoba mengukur kerlipan di ruangwaktu pada skala terkecil. Perangkat ini terdiri dari dua interferometer, instrumen yang memperkuat perubahan kecil pada jarak [bawah satu]. Terdeteksinya kerlipan mengindikasikan ruangwaktu adalah digital—terbagi menjadi paket-paket diskret [bawah dua].
Tentu saja Anda dapat membayangkan banyak penyebab kenapa pembelah
sorot bergerak ke sana kemari sejauh beberapa panjang Planck—gemuruh
mesin mobil di luar gedung, misalnya, atau angin kencang Illinois yang
menggoncang fondasi.
Urusan seperti ini telah menyusahkan para ilmuwan di balik proyek
interferometer lainnya, detektor kembar Laser Interferometer
Gravitational-Wave Observatory (LIGO) di luar Livingston, Los Angeles,
dan Hanford, Washington. Eksperimen-eksperimen masif ini didirikan untuk
mengobservasi gelombang gravitasi—riakan di ruangwaktu yang muncul
setelah bencana kosmik seperti tubrukan bintang neutron. Sial bagi
ilmuwan LIGO, gelombang-gelombang gravitasi menggoncang tanah pada
frekuensi yang sama dengan benda-benda yang tidak begitu menarik—truk
lewat dan pohon jatuh misalnya. Dengan demikian, detektor harus
diisolasi total dari derau dan getaran. (Proposal pembangunan ladang
turbin angin dekat fasilitas Hanford menimbulkan kekhawatiran di
kalangan fisikawan sebab getaran sirip-siripnya saja akan membanjiri
detektor dengan derau.)
Goncangan yang dicari Hogan berlangsung jauh lebih cepat—vibrasi yang
berkerlap-kerlip sejuta kali per detik. Dengan demikian, ini tidak
rentan terhadap derau tadi—namun ada kemungkinan interferensi dari
stasiun-stasiun radio AM sekitar yang bersiaran pada frekuensi sama.
“Tak ada yang bergerak pada frekuensi tersebut,” kata Stephen Meyer,
fisikawan Universitas Chicago dan veteran LIGO yang sedang mengerjakan
Holometer. “Jika kami menemukan ada pergerakan, kami akan menganggapnya
sebagai isyarat pasti” bahwa kerlipan memang nyata.
Dan di dunia fisika partikel, isyarat pasti sulit didapat. “Ini agak
kuno,” kata Hogan. “Gaya kuno fisika ini dimintai bantuan, dengan kata
lain, ‘Kami akan mencaritahu apa yang alam lakukan, tanpa prasangka.’”
Sebagai ilustrasi, dia suka menceritakan perumpamaan asal-usul
relativitas dan mekanika quantum. Einstein menemukan teori relativitas
umum dengan duduk di mejanya dan mengerjakan matematikanya dari
prinsip-prinsip pertama. Ada beberapa kebingungan eksperimen yang
dipecahkan—padahal, uji eksperimen riil pertamanya baru datang
bertahun-tahun kemudian. Mekanika quantum, di sisi lain, dibebankan
kepada teoris dengan hasil-hasil eksperimen membingungkan. (Tak ada
teoris berotak waras yang mau menemukan mekanika quantum kecuali kalau
dipaksa oleh data,” ujar Hogan.) Tapi ini telah menjadi teori tersukses
dalam sejarah sains.
Sama halnya, para teoris telah bertahun-tahun membangun teori-teori
menawan seperti teori string, walaupun belum jelas bagaimana atau apakah
ia dapat diuji. Hogan memandang tujuan Holometer ini sebagai jalan
untuk menciptakan data membingungkan yang harus dijelaskan oleh teoris
di masa mendatang. “Keadaan sudah lama tersendat,” katanya. “Bagaimana
Anda melancarkannya? Terkadang dilancarkan dengan eksperimen.”
Penulis
Michael Moyer adalah editor senior di Scientific American.
Untuk Digali Lebih Jauh
- The Holographic Principle. Raphael Bousso dalam Reviews of Modern Physics, Vol. 74, No. 3, hal 825–874, 2002. http://arxiv.org/abs/hep-th/0203101
- Information in the Holographic Universe. Jacob D. Bekenstein dalam Scientific American, Vol. 289, No. 2, hal 58–65, Agustus 2003.
- Atoms of Space and Time. Lee Smolin dalam Scientific American, Vol. 290, No. 1, hal 66–75, Januari 2004.
- Now Playing: Reality. In 3-D. Kunz dalam Symmetry, Vol. 8, No. 3, hal 22–25, Oktober 2011.
- Interferometers as Probes of Planckian Quantum Geometry. Craig J. Hogan. http://arxiv. org/abs/1002.4880
1 Komentar
bagus sekali
BalasHapusBerkomentarlah dengan sopan dan santun