Bupati
Purwakarta Dedi Mulyadi menyoroti kebijakan Bima Arya yang melarang
perayaan Asyuro Syiah. Dia beranggapan Bima Arya tidak tau adat dan
sejarah Kota Bogor yang dahulu menjadi pusat kerajaan pajajaran.
Dedi menegaskan seharusnya Bima Arya mencontoh Siliwangi sebab
Siliwangi atau yang bernama asli Sri Baduga Maharaja dulu menerapkan
sistem Pluralisme dan ajaran cinta kasih.
Dedi mencontohkan melalui akun facebooknya pernikahan Siliwangi
dengan seorang Muslimah dari Kota Karawang merupakan salah satu bentuk
toleransi dan pluralisme yang diajarkan Siliwangi selama memimpin
pajajaran.
Maka secara tidak langsung, Dedi Mulyadi sendiri membenarkan bahwa
pernikahan Siliwangi dengan seorang Muslimah asal Karawang merupakan
pernikahan beda agama. Artinya, Siliwangi bukanlah seorang Islam.
Dedi Mulyadi ternyata belum paham Agama Islam. Ajaran Islam melarang
seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki Non Islam. Jika
demikian, maka pernikahan Siliwangi yang non Islam dengan wanita
muslimah merupakan Perzinahan.
Alhasil konsep Pluralisme yang dibawa Dedi Mulyadi ternyata menabrak syariat Islam.
Seperti dikutip kantor berita RMOL.com pasca pelarangan perayaan
syiah oleh Bima Arya, Dedi Mulyadi meminta kepada Presiden Jokowi
mengakui Agama leluhur seperti Agama Kejawen, Sunda Wiwitan, dan
Mentawai. Karena menurutnya Padjajaran yang sekarang bernama Jawa Barat
mempunyai sistem Pluralisme yang mengakui semua agama sama benarnya.
Baca: http://indtruth.blogspot.co.id/2015/11/bupati-purwakarta-konflik-sunni-syiah.html
Dedi menyayangkan warga yang menganut agama leluhur tidak bisa
menuliskan keyakinan mereka di KTPnya padahal mereka adalah penganut
agama leluhur Bangsa Indonesia sebelum datangnya Islam.
Maka pantaslah jika Dedi Mulyadi yang meskipun di dalam KTP nya
beragama Islam tapi ternyata dalam pemikirannya menganut pemahaman
liberal dan kesyirikan. Itu terbukti dengan kebijakan kebijakannya yang
condong kepada atribut, ritual, atau tradisi agama Hindu dan agama
leluhur seperti:
1. Warga Purwakarta wajib mematikan lampu di saat bulan Purnama
2. Setiap pohon di pinggir jalan wajib memakai balutan kain kotak-kotak yang bergaris emas di kedua sisinya.
3. Membangun patung-patung tokoh wayang berukuran besar di setiap persimpangan jalan.
4. Mendirikan penjor-penjor di pinggir jalan mirip hari raya galungan di Bali ketika hari jadi Purwakarta.
5. Rutin memberikan sesajen di bawah kereta kencana yang dikultuskannya
dan sering di arak ke tengah kota ketika hari besar di Purwakarta.
6. Menyerukan kepada Aparatur desa agar menghentikan ceramah ulama yang dianggapnya provokatif.
UMAT ISLAM JAWA BARAT WAJIB WASPADA AQIDAH!
Untuk digali lebih dalam
Aliran Kejawen
Boedi Oetomo dengan Kejawen dan Freemason
1 Komentar
Tulisan jembut
BalasHapusBerkomentarlah dengan sopan dan santun