“Pencarian Dark Matter”

Walaupun guru-guru sains sering mengatakan kepada murid mereka bahwa tabel periodik unsur menunjukkan dari apa Alam Semesta terbuat, ini tidaklah benar. Kita tahu bahwa sebagian besar dari Alam Semesta – sekitar 96% – terbuat dari dark material yang tak dapat dijelaskan, dan tentu saja tidak terwakilkan oleh tabel periodik Mendeleev. Dark matter yang tak terlihat ini adalah subjek dari buku ini. Meski masalah dark matter ini sebagian besar tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari, sebaiknya ini dimasukkan dalam kurikulum sains mainstream. Sains seharusnya menjelaskan kebenaran dan sifat Alam Semesta, tapi sekarang kita masih mengajari anak-anak kita bahwa Alam Semesta terbuat dari seratus atau lebih unsur dan tak ada yang lain.
Dark matter menjadi pengingat lebih lanjut bahwa kita manusia tidaklah esensial di Alam Semesta. Sejak Copernicus dan yang lain mengatakan bahwa Bumi bukan pusat Alam Semesta, manusia tak lagi berada dalam posisi signifikan di kosmik. Mula-mula ditemukan bahwa kita bukan berada di pusat Sistem Tata Surya, dan kemudian diketahui bahwa Matahari hanyalah salah satu bintang di Bima Sakti, bahkan ia tidak berada di pusat Galaksi rumah kita. Pada tahap ini, Bumi dan penghuninya lenyap seperti bintik debu dalam badai. Ini mengejutkan. Pada tahun 1930-an, Hubble menunjukkan bahwa Bima Sakti, yang luas itu, ternyata hanya ‘pulau Alam Semesta’ yang sama sekali tidak istimewa; dan bahkan galaksi rumah kita ternyata tidak signifikan di lautan galaksi, dan gugus galaksi. Sekarang para astronom telah menguak bahwa kita bukan terbuat dari unsur yang sama dengan sebagian besar materi di Alam Semesta. Planet kita – bahkan tubuh kita – nyata dan bisa dilihat, sedangkan sebagian besar materi di Alam Semesta tidak demikian. Alam Semesta kita terbuat dari kegelapan. Bagaimana kita menanggapi ini?
Dalam lima puluh tahun terakhir kita telah melihat sebuah perubahan luar biasa dalam cara kita memandang Alam Semesta. Temuan-temuan abad dua puluh yang memperkuat revolusi Copernicus telah membawa kepada temuan yang lebih fundamental mengenai bagaimana Alam Semesta dibangun. Tapi, seiring dengan penemuan sifat Galaksi kita dan galaksi-galaksi lain, mengalir satu cerita yang hampir sama tersembunyinya dengan subjeknya sendiri. Hukum gravitasi yang dikemukakan Newton, dan kemudian Einstein, digunakan dengan baik dalam penemuan dunia-dunia baru di Sistem Tata Surya kita, yakni Neptunus dan Pluto. Teknik ini – mencari efek-efek gravitasi dari objek-objek tak tampak terhadap objek-objek tampak – membawa astronom menyadari bahwa terdapat lebih banyak materi dari yang mampu kita lihat. Buku ini menceritakan kisah itu. Kisah tentang jalan keliru yang pada akhirnya menunjuk ke arah yang benar; tentang arogansi dan kerendahan hati para ilmuwan, keingintahuan dan kebingungan. Tapi lebih dari itu, ini adalah kisah yang menunjukkan sifat gigih sains dan para ilmuwan yang secara konsisten mengungkapkan betapa masih banyak hal yang harus dipelajari.
Masalahnya adalah bahwa setiap temuan baru seperti tidak memperlihatkan lebih banyak hal tentang Alam Semesta, tapi hanya memperlihatkan betapa banyaknya yang masih harus kita pelajari. Bagai seseorang yang terbangun dalam gua yang gelap dengan hanya membawa sebuah lilin untuk menekan kegelapan. Pijaran suramnya hanya menampakkan sedikit lantai gua dan kegelapan di sekitarnya. Harapan muncul ketika obor ditemukan; tapi cahaya tambahan itu tidak menampakkan dinding gua, selain luasnya kegelapan. Seberapa luas kegelapan itu sebenarnya? Kita masih harus mencaritahu. Buku ini menggambarkan seberapa jauh kita sekarang ini bisa memahami rahasia malam.
Ini juga adalah cerita tentang sains dan ilmuwan. Semua kontributor (kecuali satu) buku ini merupakan ilmuwan dengan keahlian spesifik dalam masalah dark matter. Sementara yang non-ilmuwan itu adalah Goeff McNamara, guru dan penulis, yang bertanggung jawab mengumpulkan cerita dari berbagai kontributor. Sebagian besar riset astronomi kontemporer dan historis mengenai lokasi dan kuantitas dark matter bertalian dengan Ken Freeman, yang memiliki riwayat panjang dalam riset dark matter sejak kemunculan subjek ini pada akhir 1960-an. Profesor Warrick Couch, Kepala Fakultas Fisika di Universitas New South Wales, menceritakan bagaimana gravitational lensing (pelensaan gravitasi) telah berkembang menjadi sebuah teknik yang kini biasa digunakan untuk membantu memetakan lokasi dan jumlah dark matter di galaksi-galaksi dan gugus-gugus galaksi. Cerita tentang partikel-partikel eksotis yang kemungkinan menyusun dark matter dituturkan dalam Bab 11, 12, dan 13. Bab-bab tersebut banyak bersandar pada masukan teknis dari Profesor Ray Volkas dari Fakultas Fisika Universitas Melbourne, dan nasehatnya mengenai astrofisika partikel dengan senang hati kami terima. Terakhir, Dr. Charley Lineweaver dari Fakultas Riset Astronomi dan Astrofisika, Australian National University, menceritakan implikasi dark matter dan si pendatang baru – dark energy – terhadap nasib jangka panjang Alam Semesta.
Bagaimanakah reaksi para pelajar jika mereka mengetahui bahwa posisi mereka ternyata tidak signifikan dalam waktu, ruang, dan sekarang materi? Seiring terkuak betapa luasnya Alam Semesta, seiring semakin jelasnya jarak luar biasa dalam ruang dan waktu, dan mereka menyadari bahwa diri mereka bukan terbuat dari unsur yang sama dengan materi lain di Alam Semesta, maka mereka akan merasa kecil dan tak berarti. Tapi fase ini segera berlalu, dan rasa ingin tahu akan mengambil alih. Semua pelajar dengan kemampuan akademis dan pemahaman astronomis yang berbeda-beda akan tiba pada satu poin yang sama: mereka ingin tahu lebih banyak. Para pemuda ini pada dasarnya adalah ilmuwan – sekalipun hanya beberapa dari mereka yang akan memperoleh kesempatan untuk mengejar subjek ini secara profesional. Buku ini ditulis untuk para pelajar dan pembaca kita yang sependirian, di mana pun.
Kenneth Freeman, FAA, FRS, Duffield Professor, Australian National University
Geoff McNamara, Canberra, ACT

Posting Komentar

0 Komentar