Canggihnya Perang “Asymmetric Warfare Strategies” atau AWS
Memahami Perang “Asymmetric Warfare Strategies (AWS)”
oleh: Kolonel Sus Drs. Mardoto, M.T.
(Dosen Akademi Angkatan Udara).
(Dosen Akademi Angkatan Udara).
PENGERTIAN
Perang Asimetris atau Asymmetric warfare,
adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang
tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan
spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra
(perpaduan antara trigatra-geografi, demografi, dan sumber daya alam,
dan pancagatra-ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang
asimetris selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih,
dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.
Rujukan lain menyatakan:
“Perang asimetris“ dapat digambarkan sebagai konflik di mana sumber daya dari dua pihak yang berperang berbeda dalam esensi dan dalam perjuangan, berinteraksi dan berusaha untuk mengeksploitasi kelemahan karakteristik masing-masing. Perjuangan seperti itu sering melibatkan strategi dan taktik perang konvensional, kombatan pihak yang “lemah” akan mencoba menggunakan strategi untuk mengimbangi kekurangan dalam kuantitas atau kualitas. Strategi tersebut belum tentu menggunakan militerisasi. Ini berbeda dengan perang simetris, di mana dua kubu memiliki kekuatan militer dan sumber daya yang sama dan mengandalkan taktik yang mirip secara keseluruhan, hanya berbeda dalam rincian dan eksekusi.
STRATEGI
Dalam perang konvensional, kekuatan musuh
mudah sekali diperkirakan kuantitas maupun kualitasnya, misalkan
tentang kekuatan komando dan pengendaliannya. Sehingga strategi yang
hendak digunakan relatif mudah dipelajari dan dibaca, sehingga dapat
digunakan untuk dasar-dasar mengantisipasinya. Namun dalam perang
asimetris hal ini sebaliknya. Sangat sulit bagi kita memprediksi
kekuatan musuh, secara kuantitas dan kualitas.
Beberapa taktik yang memungkinkan hasil positif dalam perang asimetris, antara lain:
1. Satu sisi dapat memiliki keunggulan teknologi yang melebihi keuntungan numerik dari musuh; yang menentukan English Longbow sebagai contoh adalah pada Pertempuran Crécy atau Battle of Crécy.
2. Inferioritas teknologi atau technological inferiority, biasanya dibatalkan oleh infrastruktur yang lebih rentan yang dapat ditargetkan dengan hasil yang dahsyat. Penghancuran beberapa sumber listrik, jalan atau sistem pasokan air di daerah padat penduduk bisa memiliki efek buruk terhadap perekonomian dan moral, sementara pada kubu yang lemah mungkin tidak memiliki struktur ini sama sekali.
3. Pelatihan dan taktik serta teknologi dapat membuktikan, menentukan dan memungkinkan kekuatan yang lebih kecil untuk mengatasi sesuatu yang jauh lebih besar. Sebagai contoh, selama beberapa abad, penggunaan hoplite Yunani atau Greek hoplite’s (untuk infanteri berat) mereka membuat dan memakai phalanx yang jauh lebih unggul dari musuh-musuh mereka. The Battle of Thermopylae, yang juga melibatkan penggunaan medan perang yang baik, adalah contoh yang terkenal.
4. Jika daya yang rendah berada dalam posisi membela diri; yaitu, diserang atau dijajah, sangat dimungkinkan untuk menggunakan taktik yang tidak konvensional, seperti taktik ‘serang lalu pergi’ (hit–and-run) dan juga pertempuran selektif dikala kekuatan superior lebih lemah, cara yang efektif menghajar namun tanpa melanggar hukum peperangan. Mungkin sebagai contoh sejarah klasik, doktrin ini dapat ditemukan dalam Perang Revolusi Amerika (the American Revolutionary War), sebuah gerakan dalam Perang Dunia II, seperti Perlawanan Perancis (French Resistance) dan partisan perang Soviet dan Yugoslavia. Perlawanan terhadap negara-negara agresor yang demokratis, strategi ini dapat digunakan untuk ‘bermain’ pada kesabaran para pelaku dalam konflik (seperti dalam Perang Vietnam dan perang-perang setelahnya) dengan cara memprovokasi para kontra dan para perselisihan antara legislator yang terpilih.
5. Jika kubu yang berdaya rendah berada dalam posisi yang agresif, dan / atau berubah menjadi taktik yang dilarang oleh hukum perang (jus in bello), keberhasilannya tergantung pada kekuatan menahan diri dari atasan, seperti taktik. Sebagai contoh, hukum perang darat melarang penggunaan bendera gencatan senjata atau kendaraan medis sebagai kamuflase atau penutup untuk melakukan serangan atau penyergapan, namun pejuang asimetris menggunakan taktik yang dilarang ini untuk keuntungan, tergantung pada ketaatan dan kekuatan superior terhadap hukum yang sesuai. Demikian pula, hukum perang melarang kombat yang menggunakan pemukiman sipil, berpopulasi atau fasilitas sebagai pangkalan militer, tetapi ketika kubu yang berdaya rendah menggunakan taktik ini, semua itu tergantung pada premis bahwa kekuatan superior akan menghormati hukum dan pihak yang lain melanggar, dan tidak akan menyerang target sipil, atau jika mereka melakukan propaganda yang akan memberikan keuntungan lebih besar daripada kerugian material. Seperti yang terlihat pada sebagian besar konflik yang terjadi pada abad ke-20 dan abad ke-21, ini sangat tidak mungkin karena keuntungan propaganda selalu melebihi kepatuhan terhadap hukum internasional, terutama dengan mendominasi sisi konflik apapun.
6. Seperti disebutkan kali ini, adalah konflik Israel–Palestina adalah salah satu contoh terbaru dari perang asimetris. Mansdorf dan Kedar menjelaskan bagaimana perang Islam menggunakan status asimetris-nya untuk mendapatkan keuntungan taktis terhadap Israel. Mereka merujuk pada mekanisme “psikologis” yang digunakan oleh pasukan seperti Hizbullah dan Hamas yang mau mengeksploitasi warga sipil mereka sendiri serta warga sipil musuh untuk mendapatkan keuntungan taktis, sebagian dengan cata menggunakan media untuk mempengaruhi jalannya peperangan.
Pada sisi lain menurut tipologi terdapat
strategi ideal yang digunakan dalam perang asimetris berdasarkan para
aktor yang berperang :
1. Untuk aktor yang kuat strategi yang digunakan dengan penyerangan : direct attack and barbarism (serangan langsung yang brutal).
2. Untuk aktor yang lemah strategi yang digunakan dengan pertahanan : direct defense and guerrilla warfare strategy (pertahanan langsung dan perang strategi gerilya).
TINGKAT KEBERHASILAN
Berdasarkan data yang dilaporkan dapat
kita simak adanya suatu fakta yang mengejutkan tentang tingkat
keberhasilan dalam perang asimetris berdasarkan aktor yang bermain:
Terlihat bahwa makin ke arah sekarang dan
yang akan datang adanya trend aktor perang asimetris yang lemah semakin
memiliki peluang memenangkan perang ini lebih tinggi.
Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik
untuk para pemain perang asimetris dalam menyusun strategi yang lebih
andal, karena aktor yang kuat bisa saja terkalahkan dengan olah strategi
yang handal oleh pemain yang lemah.
BAGAIMANA DI INDONESIA?
Indonesia sesungguhnya telah menjadi
sasaran perang asimetris. Penyebaran berita, acara, dan pentas-pentas
yang merusak mental SDM Indonesia itu sudah merupakan contoh nyata adanya perang asimetris di Indonesia.
Strategi ini tergolong murah tanpa
mengeluarkan biaya mahal, bahkan malah mengeruk uang rakyat, karena
perang asimetris ini tidak menggunakan banyak senjata, cukup dengan
menggegerkan media dengan Lady Gaga, isu provokatif stabilitas keamanan
Negara sudah digoyang.
Dengan digunakannya strategi asimetris
oleh sebuah negara untuk melumpuhkan lawannya bukan berarti kekuatan
konvensional tidak diterapkan lagi. Justru untuk mengantisipasi gagalnya
upaya melemahkan suatu negara, pola perang kombinasi juga sering
digunakan.
Jadi hard power dan soft power digunakan secara cantik secara bersama, dengan kehebatan mind power di belakangnya.
Contoh perang konvensional yang
mengembang, dapat kita lihat di Libya saat penumbangan Khadafy. Ketika
strategi non-konvensional yang dilancarkan masih dianggap kurang mampu
menundukkan Libya, AS lalu merubah strateginya dari non-konvensional
menjadi konvensional dengan segera menyiapkan mesin-mesin perang yang
dimilikinya beserta NATO untuk menggebuk kekuatan militer Libya yang
masih bercokol dan mendapat dukungan dari sebagian rakyatnya.
Alasan awalnya adalah NFZ yaitu dari bahasa Polandia: Narodowy Fundusz Zdrowia atau ‘Zona Larangan Terbang’, atau dalam bahasa Inggris: A no-fly zone (no-flight zone), tapi itu sesungguhnya adalah kedok untuk mencapai tujuan sebenarnya.
Sedangkan sejarah perang di Indonesia
juga mencatat, selama konflik RI – Permesta berlangsung, AS dengan dalih
menjaga ladang minyaknya selalu berusaha masuk ke wilayah indonesia,
melihat gelagat tidak beres yang ditunjukkan AS terhadap Indonesia TNI
berusaha menggagalkan upaya tersebut dengan sesegera mungkin mengamankan
ladang-ladang minyak AS sebelum sengaja dihancurkan oleh pemberontak
Permesta yang bersekongkol dengan AS.
Dengan begitu AS sudah dapat dipastikan
tidak akan dapat masuk ke wilayah RI karena tidak memiliki alasan kuat
sebagai pembenarnya. Perlu diketahui, AS sudah menyiapkan Armada VII
dekat perairan Singapura dan terus melakukan manuver perang sebagai
langkah persiapan memasuki wilayah indonesia.
Indonesia dulu berbeda dengan Indonesia sekarang, saat ini Indonesia bagi AS sudah dianggap sebagai “Good Boy”
sehingga strategi konvensional masih belum saatnya disiapkan melihat
tekanan dan lobi-lobi AS yang diberikan dengan dalih menjaga kestabilan
kawasan masih bisa di turuti/diikuti oleh pemerintah indonesia.
Jadi cukup dengan strategi Asimetris
saja, AS sudah mampu menggoncangkan pemerintah indonesia lewat isu,
informasi, kebebasan, budaya, ekonomi, narkoba, korupsi dan lain
sebagainya.
Seperti yang kita ketahui, Menurut Wakil
Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoedin bahwa dunia strategi dan pertahanan
sedang memasuki babakan baru, yakni perang asimetris.
”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara,” ujarnya. (Kompas 28/3/2011)
Wamenhan mengingatkan, negara yang secara
ekonomi dan kesenjataan lemah adalah sasaran utama perang asimetris.
Sebagai contoh, media internet atau media massa tanpa sadar dipakai
untuk memengaruhi cara berpikir atau melemahkan bangsa Pemberitaan dua
media Australia mengenai kebijakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
dan situasi politik di indonesia beberapa waktu lalu juga termasuk upaya
pemerintah Australia dalam melancarkan strategi Asimetris dengan tujuan
menggoyahkan stabilitas pemerintah indonesia lewat jaringan informasi.
Karena saat ini begitu mudah semua
informasi diakses lewat media jaringan seperti Youtube, Tweeter,
Facebook, Media Cetak maupun Elektronik.
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki
daftar panjang dijadikan sasaran perang asimetris. Sejak proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia terus melakukan
perang asimetris terhadap pendudukan Belanda hingga 1950, Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), krisis Timor-Timur, Gerakan Pengacau Keamanan di Papua,
dan lainnya.
Seorang pakar, Tamrin, dalam salah satu presentasinya yang berjudul “Perang Asimetris, Tanggapan dan Penajaman”,
membahas mengenai ancaman asimetris di bidang sosial-budaya dan agama,
menyatakan beberapa argumentasi bahwa yang pertama adalah tidak
meratanya persebaran suku-suku di Indonesia.
Seperti diketahui, di Indonesia terdapat
653 suku bangsa. Akan tetapi dari Sumatra hingga Jawa (kecuali Sumatra
Selatan) hanya terdapat beberapa suku mayoritas. Sebaliknya di
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, banyak sekali suku bangsa yang menghuni
satu kota. Bahkan setengan dari jumlah suku bangsa berada di Papua. Ini
dapat menjadi ancaman disintegrasi.
Ancaman lainnya, bangunan keras:
demokratisasi, desentralisasi, dan pemekaran wilayah. Desentralisasi
pada saat ini, kata Tamrin, sudah kebablasan. Pemekaran juga luar biasa.
Di Lombok misalnya, dari sembilan menjadi
18 kelurahan. Banyak sekali gubernur-gubernur yang tidak berkinerja.
Yang terakhir adalah bangunan lunak: kebangsaan, konstitusi, negara dan
agama.
Menurut Manuel Castells di dalam bukunya, The Power of Identity: The Information Age Economy, Society and Culture,
kata Tamrin, dahulu negara adalah pihak satu-satunya yang memiliki
kekuasaan untuk mengatur dan memaksa. Namun sekarang, negara mendapat
saingan kelompok yang bahkan membuat negara tidak berkutik, yaitu
terorisme lokal, fundamentalis agama dan suku.
Pakar lainnya, Fayakhun Andriadi, yang membawakan presentasi “Asymetric Warfare Strategy”,
memaparkan mengenai pengaruh teknologi informasi dan komunikasi
terhadap perang asimetris. Menurut dia, teknologi informasi dan
komunikasi semakin meningkat, dan menduduki peranan utama dalam
kehidupan sehari-hari. Karenanya, teknologi informasi telah menjadi
sesuatu yang bernilai sekaligus dapat menjadi senjata perusak.
“Sekarang ini, lini pertempuan akan
bergeser ke lini informasi. Bombardir informasi akan membentuk citra
yang tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan posisi lawan,”
katanya.
Ia mencontohkan ketika Amerika Serikat
(AS) dan Uni Soviet terlibat perang dingin yang memuncak di tahun
1980-an. Sungguh naif jika dikatakan Soviet hancur secara alamiah.
Justru, AS melancarkan asymetric warfare
terhadap Soviet. Amerika dan negara-negara barat pandai memainkan
strateginya dalam perang informasi yang lebih bersifat psychological
warfare. Secara ideologi, kemunculan glasnost dan perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis yang telah lama menjadi perekat kesatuan Soviet.
APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?
Fahami lebih mendalam tentang perang
asimetris, strategi dan penerapannya, sebelum semuanya menjadi
terlambat. Karena waktu terus bergulir dan para aktor semakin banyak
bergentayangan.
Nasionalisme harus terus digelorakan,
demi terjaganya keberadaan WNI yang bermartabat yang selalu ikut menjaga
dan mempertahankan negara bangsanya agar semakin jaya dalam bingkai
NKRI sampai kapanpun. (sumber: mardoto.com)
CATATAN Oleh : Kolonel Sus Drs. Mardoto, M.T. (Dosen Akademi Angkatan Udara / Special Thanks to: mardoto.com)
Referensi:
Wikipedia – Asymmetric warfare
The Jakarta Post – Asymmetric warfare, a clearand present threat
Wikipedia – Asymmetric warfare
The Jakarta Post – Asymmetric warfare, a clearand present threat
0 Komentar
Berkomentarlah dengan sopan dan santun